KATA
PENGANTAR
Puji
Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala
kebaikan dan pertolongan-Nya, kelompok kami dapat menyelesaikan tugas
Perekonomian Indonesia dengan materi DAYA
SAING DAN KINERJA INDONESIA DALAM TINGKAT ASEAN dengan
baik. Kami sangat mengharapkan, agar materi yang akan kami sampaikan dapat
membantu teman-teman untuk jauh lebih mengerti dengan baik dan memahami serta
menambah wawasan tentang materi ini.
Penulis
Ambon, 12 Mei 2018
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR 1
DAFTAR
ISI 2
BAB
I PENDAHULUAN 3
Ø Latar
Belakang 3
Ø Rumusan
Masalah 3
Ø Tujuan
4
BAB
II PEMBAHASAN 5
A. Kinerja Daya
Saing (competitiveness performance): 6
1. Total Perdagangan 6
2. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) 7
3. Arus masuk investasi asing langsung (FDI Inflow) 7
4. Pendapatan per kapita (GDP per capita) 8
B. Penentu Daya Saing
(Competitiveness Determinants): 10
1. Indeks Persepsi
Korupsi (Corruption Perception Index) 10
2. Indeks Kebebasan
Ekonomi (freedom of economy index) 11
3. Kemudahan dalam
berbisnis (Ease of doing business) 13
4. Indeks Daya
Saing Global (Global competitiveness index) 15
BAB
III PENUTUP 18
Ø Kesimpulan 18
Ø Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
PENDAHULUAN
Ø Latar Belakang
“National prosperity is created not inherited” (Michael
Porter). Kesejahteraan nasional itu diciptakan bukan diwariskan. Kalimat
singkat itu menggambarkan bahwa kesejahteraan itu harus diperjuangkan dan tidak
bisa diwariskan dari nenek moyang. Negara harus berjuang untuk mensejahterakan
rakyatnya dengan segenap usaha yang bisa dilakukan. Rakyat tidak bisa berharap
kesejahteraan bisa didapatkan hanya dengan mewarisi kekayaan yang disediakan
oleh alam.
Penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 merupakan
bentuk integrasi ekonomi regional. Dengan asumsi, persaingan bebas di kawasan
Asia Tenggara akan memicu setiap negara anggota ASEAN melakukan efisiensi yang
optimal dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila
mekanisme tersebut berjalan dengan baik, maka semua negara yang terlibat akan
memperoleh keuntungan, meski keuntungan tersebut tidak akan merata
sebarannya.
Persaingan bebas diantara negara anggota ASEAN akan
semakin ketat. Untuk memenangkan kompetisi, daya saing akan menjadi kunci
keberhasilan. Negara yang memiliki daya saing tinggi akan membuka kesempatan
lebih besar untuk bisa menjadi pemenang. Begitu juga sebaliknya, negara yang
memiliki daya saing rendah akan semakin tertinggal.
Ø Rumusan Masalah
1. Bagaimana daya saing Indonesia diantara negara-negara
ASEAN?
2. Apa saja kelebihan dan kekurangan Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara tetangga?
3. Apa yang harus dilakukan untuk menambah daya saing
Indonesia?
Ø Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk melakukan analisa
perbandingan daya saing Indonesia diantara negara-negara ASEAN. Data sekunder
digunakan untuk mengukur daya saing dan faktor yang menentukan daya saing.
Studi ini menganalisa perbandingan peran ekonomi Indonesia dan negara-negara ASEAN
dengan mengukur seberapa besar andilnya dalam perdagangan, besaran gross
domestic product, gross domestic product per capita dan foreign direct invesment inflow. Untuk
faktor penentu daya saing, analisa dilakukan dengan melakukan perbandingan
terhadap beberapa indikator seperti corruption perception index, freedom of
economy index, ease of doing business dan global competitiveness index.
BAB II
PEMBAHASAN
Vukovic, et al (2012) mengatakan bahwa daya saing
(competitiveness) memiliki beberapa definisi dan teori. World Economic Forum
mendefinisikan daya saing sebagai seperangkat institusi, kebijakan, dan
faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Tingkat
produktivitas akan menentukan tingkat kemakmuran yang dapat dicapai dengan
ekonomi. Tingkat produktivitas juga menentukan tingkat pengembalian investasi
dalam perekonomian, yang akan menjadi pendorong utama tingkat pertumbuhan.
Dengan kata lain, ekonomi yang lebih kompetitif kemungkinan akan tumbuhlebih
cepat dari waktu ke waktu (World Economic Forum, 2014).
Sementara menurut Porter (2006), daya saing adalah
fondasi kemakmuran, berdasarkan potensi produktif perekonomian suatu negara,
yang pada gilirannya akhirnya ditetapkan oleh produktivitas perusahaan yang
ditentukan oleh kecanggihan operasi dan
strategi perusahaan serta kualitas lingkungan bisnis ekonomi mikro.
Definisi operasional daya saing dalam Wahyuni dan Ng
(2012) mencakup pandangan jangka panjang pertumbuhan yang berkelanjutan, baik
itu di perusahaan, industri, kluster, daerah atau tingkat nasional. Daya saing harus dihubungkan dengan tujuan
fundamental seperti penciptaan kekayaan, maksimalisasi kesejahteraan, dan
kemakmuran. Perkembangan daya saing juga harus diartikan perkembangan efisiensi
relatif seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan. Daya saing juga harus
dipahami sebagai proses daripada sesuatu yang absolut.
Dalam artikel ini, perbandingan daya saing Indonesia
dengan negara anggota ASEAN lainnya dilihat dari kinerja daya saing
(competitiveness performance) dan
penentu daya saing (competitiveness determinants). Dalam kinerja daya
saing, kami membandingkan data indikator ekonomi seperti nilai total
perdagangan, gross domestic product (GDP), gross domestic product per capita dan aliran masuk foreign direct
investment(FDI).Untuk penentu daya saing, kami membandingkan data corruption
perception index, freedom of economy, ease of doing business dan global
competitivenessindex.
A.
Kinerja Daya Saing (competitiveness performance):
1. Total perdagangan
Indonesia
menempati ranking ke 4 dalam total perdagangan di Asia Tenggara pada tahun 2013
dengan persentase 14,70%. Singapura berada di posisi pertama (31,19%), disusul
oleh Thailand (19,04%) dan Malaysia (17,29%). Pada tahun 2012, kedudukan
negara-negara tersebut sama hanya persentasenya saja yang sedikit berbeda
(lihat grafik 1).
Pencapaian
Indonesia dalam perdagangan ini masih jauh dari optimal bila dibandingkan
dengan potensinya sebagai negara dengan luas dan jumlah penduduk terbesar di
Asia Tenggara. Potensi sumber daya alam belum bisa diolah secara optimal untuk
dijadikan komoditas ekspor. Begitu juga dengan sektor industri manufaktur dan
jasa yang belum bisa bersaing dengan negara tetangga.
Grafik
1: Total Perdagangan Negara-Negara ASEAN Tahun 2012 dan 2013 Sumber:
Sekretariat ASEAN (diolah)
2. Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product)
Produk
domestik bruto adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh
suatu negara pada periode tertentu. GDP merupakan salah satu metode untuk
menghitung pendapatan nasional. Indonesia memiliki Gross Domestic Product (GDP)
terbesar di kawasan Asia Tenggara dan cukup jauh meninggalkan negara-negara
lainnya. Peringkat berikutnya adalah Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina
(lihat tabel 1). Keberhasilan Indonesia sebagai negara dengan GDP tertinggi
diantara anggota ASEAN sangat wajar mengingat luas wilayah, jumlah penduduk dan
potensi ekonomi yang dimilikinya sangat besar. Namun, perolehan GDP bukan
jaminan kesejahteraan masyarakat karena masih ada faktor-faktor lain yang perlu
diperhitungkan.
3. Arus masuk investasi asing langsung (FDI Inflow)
Investasi
adalah stimulus pertumbuhan ekonomi suatu negara. Semakin besar jumlah
investasi yang masuk akan membuka peluang pertumbuhan ekonomi semakin tinggi
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Foreign direct investment inflow
(FDI inflow) atau arus masuk investasi asing langsung di ASEAN cukup tinggi.
Ini menunjukkan wilayah Asia Tenggara sebagai salah satu pusat pertumbuhan
ekonomi dunia. Hanya saja penyebaran nilai arus masuk investasi asing langsung
tersebut tidak tersebar dengan baik diantara negara-negara di kawasan ini.
Singapura mendominasi dengan mendapatkan 50% dari investasi asing, Indonesia
15%, Thailand 11%, Malaysia 10% (lihat grafik 2).
4.
Pendapatan per kapita (GDP
per capita)
Pendapatan
per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Cara
menghitungnya adalah dengan membagi pendapatan nasional suatu negara dengan
jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan per kapita sering digunakan sebagai
tolok ukur kemakmuran dan tingkat keberhasilan pembangunan sebuah negara.
Semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur negara tersebut.
Singapura dan Brunei Darussalam jauh berada di atas negara-negara lain.
Pendapatan rata-rata penduduk Singapura adalah 55.182 USD/tahun sedangkan
penduduk Brunei Darussalam mencapai 39.678 USD/tahun. Penduduk Indonesia hanya
mendapatkan pendapatan tahunan sebesar 3.459 USD. Indonesia masih kalah
dibandingkan dengan Thailand (5.678 USD) dan Malaysia (10.420 USD) (lihat
grafik 3).
Perbedaan
kesejahteraan yang sangat signifikan terjadi di kawasan ini. Ada negara-negara
yang tergolong sangat kaya, sementara di sisi lain ada negara yang masih
berkembang dan bahkan ada negara yang tergolong miskin. Seringkali ada yang
beralasan Indonesia pendapatan per kapitanya masih rendah akrena jumlah
penduduknya yang sangat banyak. Jumlah penduduk yang sedikit ataupun banyak
bukan alasan untuk menjadi negara sejahtera atau masih berkembang. Apabila
negara bisa mengelola semua sumber daya yang ada termasuk manusianya,
kesejahteraan bukan tidak mungkin bisa didapatkan. Penduduk yang banyak dan
produktif justru bisa menjadi modal berharga untuk meningkatkan pendapatan
nasional suatu negara.
B.
Penentu
Daya Saing (Competitiveness Determinants)
1. Indeks Persepsi Korupsi
(Corruption Perception Index)
Indeks persepsi korupsi (corruption
perception index) disusun berdasarkan pendapat para ahli di seluruh dunia.
Indeks ini mengukur tingkat persepsi korupsi di sektor publik di seluruh
negara. Skala yang digunakan dari 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih).
Hingga saat ini belum ada satupun negara yang bisa mencapai angka sempurna.
Bahkan dua pertiga negara di seluruh dunia memiliki skor dibawah 50
(transparency international, 2015).
Korupsi di sektor publik akan
mengakibatkan kerugian yang besar misalnya kurang terjaminnya fasilitas
pendidikan dan kesehatan bagi rakyat. Selain itu, korupsi akan menghambat
jalannya pembangunan dan meruntuhkan kepercayaan terhadap pemerintah. Pada akhirnya
iklim usaha pun akan terpengaruh sehingga menimbulkan ekonomi biaya
tinggi.
Singapura menempati posisi tertinggi
dengan skor 84 dan menempati rangking 7 dunia, disusul oleh Malaysia skor 52
dan rangking 50, Thailand dan Filipina skor 38 dengan rangking 85 serta
Indonesia skor 34 dan rangking 107. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa
Singapura tergolong sangat rendah tingkat korupsi di sektor publiknya, jauh di
atas negara-negara lain.
Indonesia masih terpuruk di bawah.
Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia diidentikkan dengan budaya korupsi yang
sudah menjalar di sektor publik. Korupsi masih menjadi salah satu hambatan bagi
terciptanya iklim usaha yang kondusif.
2. Indeks Kebebasan Ekonomi (freedom of economy index)
Indeks kebebasan ekonomi mengambil pandangan yang luas
dan komprehensif mengenai kebebasan ekonomi dengan mengukur kinerja negara
dalam 10 aspek yang terpisah. Beberapa aspek kebebasan ekonomi yang dievaluasi
misalnya tingkat keterbukaan ekonomi untuk investasi global atau perdagangan.
Namun, sebagian besar fokus pada kebijakan dalam suatu negara, menilai
kebebasan individu untuk menggunakan tenaga kerja atau keuangan mereka tanpa
ada hambatan yang tidak semestinya dan campur tangan pemerintah (Heritage,
2015).
10 aspek yang diukur dari kebebasan ekonomi dapat
dikelompokkan ke dalam empat kategori besar:
1. Aturan hukum (hak milik, bebas dari korupsi);
2. Ukuran pemerintah (kebebasan fiskal, pengeluaran
pemerintah);
3. Efisiensi regulasi (kebebasan bisnis, kebebasan tenaga
kerja, kebebasan moneter); dan
4. Keterbukaan pasar (kebebasan perdagangan, kebebasan
investasi, kebebasan finansial).
Singapura kembali menunjukkan dirinya sebagai salah satu
negara yang memberikan kemudahan dalam melakukan aktifitas ekonomi. Dengan skor
tertinggi diantara negara ASEAN 89,4, Singapura menjadi rangking ke 2 dunia.
Malaysia memperoleh skor 70,8 dengan rangking 31 sedangkan Indonesia masih
tertinggal di belakang Thailand dan Filipina. Hal ini memperlihatkan bahwa
kebebasan ekonomi di Indonesia masih kurang baik. Aturan hukum yang sering
tumpang tindih, proses perizinan yang tidak lepas dari praktek korupsi, dan
lain sebagainya sering menjadi kendala aktifitas ekonomi di negara kita.
3. Kemudahan dalam berbisnis (Ease of doing business)
Data dalam The Doing Business dari World Bank
menggambarkan peran penting kebijakan pemerintah dalam aktifitas keseharian
perusahaan kecil dan menengah. Tujuan dari laporan ini adalah untuk mendorong agar
peraturan dibuat lebih efisien, dapat diakses oleh yang berkepentingan dan
mudah diimplementasikan. Dengan demikian diharapakan para pengusaha akan bisa
menjalankan usahanya dengan berkompetisi secara adil serta bisa mengembangkan
diri dengan berinovasi (World Bank, 2015).
Indonesia hanya menempati rangking 114 di tingkat dunia
dalam kemudahan berbisnis, tertinggal jauh dari negara-negara di
sekitarnya.Singapura berada di peringkat 1, Malaysia 18,Thailand 26, Vietnam
78, Filipina 95 dan Brunei 101. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos
dan Myanmar yang ekonominya masih belum berkembang.
Hal ini menggambarkan betapa tidak mudahnya untuk
menjalankan bisnis di Indonesia. Ada banyak hambatan dan rintangan yang harus
dihadapi oleh seorang investor untuk memulai usahanya. Sementara di
negara-negara lain, investor yang masuk diberikan banyak kemudahan agar mau
menjalankan bisnis di negara mereka. Birokrasi yang mudah, murah dan cepat
adalah daya tarik bagi para pengusaha untuk membuka usaha di suatu negara.
Sesuatu yang masih sulit untuk ditemukan di negeri ini.
Salah
satu alasan mengapa Indonesia dianggap sebagai negara yang sulit untuk memulai
bisnis bisa terlihat dalam tabel di bawah ini. Investor yang akan memulai
bisnis di Indonesia memerlukan 10 prosedur dan 52,5 hari kerja. Coba bandingkan
dengan Singapura yang hanya membutuhkan 3 tahapan dan 2,5 hari kerja saja.
Begitu juga dengan pengusaha yang akan melakukan kegiatan ekspor dan impor.
Untuk ekspor, mereka memerlukan 4 dokumen dengan proses selama 17 hari dan
biaya mencapai 572 USD. Sementara untuk impor, diperlukan 4 dokumen selama 26
hari kerja dengan biaya 647 USD per kontainer. Apabila dibandingkan dengan
Malaysia, kita kalah efisien. Untuk ekspor, Malaysia perlu 4 dokumen dengan 11
hari kerja dan biaya 525 USD. Begitu dengan impor, mereka hanya membutuhkan 8
hari kerja dengan biaya 560 USD per kontainer.
4. Indeks Daya Saing Global (Global competitiveness
index)
Banyak faktor penentu pendorong produktivitas dan daya
saing. Para ekonom telah memahami faktor di balik proses ini selama ratusan
tahun. Perbedaan dalam menentukan faktor penentu ini telah diadopsi dalam
Global Competitiveness Index dengan memasukkan rata-rata tertimbang dari
berbagai komponen yang berbeda, masing-masing mengukur aspek yang berbeda dari
daya saing (World Economic Forum, 2014).
Grafik indeks daya saing global di bawah ini menunjukkan
Indonesia berada di posisi ke 4 diantara negara anggota ASEAN dan urutan ke 34
di dunia. Singapura berada jauh di depan, bahkan menjadi peringkat 2 di dunia.
Malaysia berada diurutan berikutnya dengan rangking ke 20 sedangkan Thailand
berada di urutan ke 31.
Mengapa Indonesia kalah bersaing? Kita bisa melihat dari
kategori persyaratan dasar (basic requirement) yang menjadi salah satu aspek
dari penilaian GCI, Indonesia skornya selalu tertinggal dibandingkan dengan
kompetitor terdekatnya yaitu Thailand dan Malaysia. Infrastruktur, kesehatan
dan pendidikan dasar kita di bawah mereka. Hanya di aspek institusi kita bisa
lebih baik dari Thailand dan lingkungan makro ekonomi Indonesia lebih tinggi skornya
dari Malaysia.
Begitu juga jika dilihat dari 2 kategori yang lain yaitu
pendorong efisiensi (efficiency enhancer) dan faktor inovasi dan kecanggihan.
Kita perlu mengakui masih banyak yang perlu diperbaiki. Pasar barang dan tenaga kerja
belum efisien, penggunaan teknologi masih setengah hati, pendidikan
tinggi dan pelatihan sumber daya manusia masih perlu pembenahan adalah contoh
beberapa hal yang masih harus ditingkatkan lagi.
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan dan
Saran
Kinerja daya saing Indonesia memiliki keunggulan dari
besarnya pendapatan nasional yang tercermin dari pendapatan domestik bruto. Hal
ini ditunjang oleh luasnya wilayah dan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia.
Namun demikian, dari indikator yang lainnya kita masih tertinggal. Total
perdagangan, arus investasi asing dan pendapatan per kapita Indonesia tidak
sebanding dengan potensi yang dimiliki. Kita belum bisa mengoptimalkan segala
potensi yang ada untuk menjadikan rakyat sejahtera.
Ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan anggota
ASEAN lainnya karena faktor penentu daya saingnya memiliki skor rendah. Korupsi
di negeri ini tergolong akut sehingga skor indeks persepsi korupsinya masih
tergolong kecil. Kebebasan ekonomi juga masih terkendala aturan hukum dan
kebijakan pemerintah sedangkan kemudahan melakukan bisnis mendapat rintangan
birokrasi yang tidak efisien. Pada akhirnya indeks daya saing global kita masih
berada di bawah negara-negara tetangga.
Pemerintah dengan dukungan semua pemangku kepentingan
harus segera membenahi diri dengan melakukan pemberantasan korupsi di semua
sektor. Reformasi birokrasi dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan publik
juga harus dilakukan di instansi pemerintah. Penerapan teknologi informasi
untuk memudahkan dan mempercepat pelayanan di sektor publik. Tanpa ada langkah
yang terencana, Indonesia akan terus tertinggal dan kalah dalam persaingan.
Ø Daftar Pustaka
Bakhri,
B. S. (2015). Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 Dari
Perspektif Daya Saing Nasional. Jurnal Economica, I(1), 21–28.
Bangun,
W. (2014). Human Development Index : Enhancing Indonesian Competitiveness in
ASEAN Economic Community ( AEC ). International Journal of the Computer, the
Internet and Management, 22(1), 42–47.
Porter,
M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. Harvard Business Review,
68, 73– 93.
14
Selected
basic ASEAN indicators. (2014). Statistics, (December). Retrieved from
http://www.asean.org/images/2015/January/selected_key_indicators/table1_as of December
2014_R.pdf
Transparancy
International (2014). Corruption Perceptions Index 2014. Available at
https://www.transparency.org/cpi2014/results
The
Heritage Foundation (2015). 2015 Index of Economic Freedom. Available at
www.heritage.org/index/
Vukovic,
D., Jovanovic, A., & Djukic, M. (2012). Defining competitiveness through
the theories of new economic geography and regional economy. Journal of the
Geographical Institute Jovan Cvijic, SASA, 62(3), 49–64.
Wahyuni,
S., & Ng, K. K. (2012). Historical outlook of Indonesian competitiveness:
past and current performance. Competitiveness Review: An International Business
Journal Incorporating Journal of Global Competitiveness, 22, 207–234.
World
Bank (2015). Doing Business 2015. Available at ww.doingbusiness.org/rankings
World
Economic Forum (2014). The global competitiveness report 2014-2015. Available
at http://www.weforum.org/pdf/Global_Competitiveness_Reports/Reports/factsheet_gcr03.pdf
No comments:
Post a Comment