Thursday, June 21, 2018

Daya Saing dan Kinerja Indonesia dalam Tingkat ASEAN

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas segala kebaikan dan pertolongan-Nya, kelompok kami dapat menyelesaikan tugas Perekonomian Indonesia dengan materi DAYA SAING DAN KINERJA INDONESIA DALAM TINGKAT ASEAN dengan baik. Kami sangat mengharapkan, agar materi yang akan kami sampaikan dapat membantu teman-teman untuk jauh lebih mengerti dengan baik dan memahami serta menambah wawasan tentang materi ini. 




Penulis

            Ambon, 12 Mei 2018



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                               1         
DAFTAR ISI                                                                                                              2
BAB I PENDAHULUAN                                                                                         3
Ø  Latar Belakang                                                                                                3
Ø  Rumusan Masalah                                                                                           3
Ø  Tujuan                                                                                                                4

BAB II PEMBAHASAN                                                                                            5
   A. Kinerja Daya Saing (competitiveness performance):                            6
1.    Total Perdagangan                                                                                    6
2.    Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product)                              7
3.    Arus masuk investasi asing langsung (FDI Inflow)                                 7
4.    Pendapatan per kapita (GDP per capita)                                               8

B. Penentu Daya Saing (Competitiveness Determinants):              10
1. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)                       10
2. Indeks Kebebasan Ekonomi (freedom of economy index)                    11
3. Kemudahan dalam berbisnis (Ease of doing business)                        13
4. Indeks Daya Saing Global (Global competitiveness index)                   15

BAB III PENUTUP                                                                                                     18
Ø  Kesimpulan                                                                                                        18
Ø  Saran                                                                                                                  18

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                  19


BAB I
PENDAHULUAN

Ø  Latar Belakang
“National prosperity is created not inherited” (Michael Porter). Kesejahteraan nasional itu diciptakan bukan diwariskan. Kalimat singkat itu menggambarkan bahwa kesejahteraan itu harus diperjuangkan dan tidak bisa diwariskan dari nenek moyang. Negara harus berjuang untuk mensejahterakan rakyatnya dengan segenap usaha yang bisa dilakukan. Rakyat tidak bisa berharap kesejahteraan bisa didapatkan hanya dengan mewarisi kekayaan yang disediakan oleh alam. 
Penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 merupakan bentuk integrasi ekonomi regional. Dengan asumsi, persaingan bebas di kawasan Asia Tenggara akan memicu setiap negara anggota ASEAN melakukan efisiensi yang optimal dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila mekanisme tersebut berjalan dengan baik, maka semua negara yang terlibat akan memperoleh keuntungan, meski keuntungan tersebut tidak akan merata sebarannya. 
Persaingan bebas diantara negara anggota ASEAN akan semakin ketat. Untuk memenangkan kompetisi, daya saing akan menjadi kunci keberhasilan. Negara yang memiliki daya saing tinggi akan membuka kesempatan lebih besar untuk bisa menjadi pemenang. Begitu juga sebaliknya, negara yang memiliki daya saing rendah akan semakin tertinggal.

Ø  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana daya saing Indonesia diantara negara-negara ASEAN?
2.    Apa saja kelebihan dan kekurangan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga?
3.    Apa yang harus dilakukan untuk menambah daya saing Indonesia?

Ø  Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk melakukan analisa perbandingan daya saing Indonesia diantara negara-negara ASEAN. Data sekunder digunakan untuk mengukur daya saing dan faktor yang menentukan daya saing. Studi ini menganalisa perbandingan peran ekonomi Indonesia dan negara-negara ASEAN dengan mengukur seberapa besar andilnya dalam perdagangan, besaran gross domestic product, gross domestic product per capita  dan foreign direct invesment inflow. Untuk faktor penentu daya saing, analisa dilakukan dengan melakukan perbandingan terhadap beberapa indikator seperti corruption perception index, freedom of economy index, ease of doing business dan global competitiveness index. 





BAB II
PEMBAHASAN

Vukovic, et al (2012) mengatakan bahwa daya saing (competitiveness) memiliki beberapa definisi dan teori. World Economic Forum mendefinisikan daya saing sebagai seperangkat institusi, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan tingkat produktivitas suatu negara. Tingkat produktivitas akan menentukan tingkat kemakmuran yang dapat dicapai dengan ekonomi. Tingkat produktivitas juga menentukan tingkat pengembalian investasi dalam perekonomian, yang akan menjadi pendorong utama tingkat pertumbuhan. Dengan kata lain, ekonomi yang lebih kompetitif kemungkinan akan tumbuhlebih cepat dari waktu ke waktu (World Economic Forum, 2014).
Sementara menurut Porter (2006), daya saing adalah fondasi kemakmuran, berdasarkan potensi produktif perekonomian suatu negara, yang pada gilirannya akhirnya ditetapkan oleh produktivitas perusahaan yang ditentukan oleh  kecanggihan operasi dan strategi perusahaan serta kualitas lingkungan bisnis ekonomi mikro. 
Definisi operasional daya saing dalam Wahyuni dan Ng (2012) mencakup pandangan jangka panjang pertumbuhan yang berkelanjutan, baik itu di perusahaan, industri, kluster, daerah atau tingkat nasional.  Daya saing harus dihubungkan dengan tujuan fundamental seperti penciptaan kekayaan, maksimalisasi kesejahteraan, dan kemakmuran. Perkembangan daya saing juga harus diartikan perkembangan efisiensi relatif seiring dengan pertumbuhan yang berkelanjutan. Daya saing juga harus dipahami sebagai proses daripada sesuatu yang absolut. 
Dalam artikel ini, perbandingan daya saing Indonesia dengan negara anggota ASEAN lainnya dilihat dari kinerja daya saing (competitiveness performance) dan  penentu daya saing (competitiveness determinants). Dalam kinerja daya saing, kami membandingkan data indikator ekonomi seperti nilai total perdagangan, gross domestic product (GDP), gross domestic product  per capita dan aliran masuk foreign direct investment(FDI).Untuk penentu daya saing, kami membandingkan data corruption perception index, freedom of economy, ease of doing business dan global competitivenessindex.
A.   Kinerja Daya Saing (competitiveness performance):
1.    Total perdagangan
Indonesia menempati ranking ke 4 dalam total perdagangan di Asia Tenggara pada tahun 2013 dengan persentase 14,70%. Singapura berada di posisi pertama (31,19%), disusul oleh Thailand (19,04%) dan Malaysia (17,29%). Pada tahun 2012, kedudukan negara-negara tersebut sama hanya persentasenya saja yang sedikit berbeda (lihat grafik 1). 

Pencapaian Indonesia dalam perdagangan ini masih jauh dari optimal bila dibandingkan dengan potensinya sebagai negara dengan luas dan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara. Potensi sumber daya alam belum bisa diolah secara optimal untuk dijadikan komoditas ekspor. Begitu juga dengan sektor industri manufaktur dan jasa yang belum bisa bersaing dengan negara tetangga. 


Grafik 1: Total Perdagangan Negara-Negara ASEAN Tahun 2012 dan 2013 Sumber: Sekretariat ASEAN (diolah)

2.    Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product)
Produk domestik bruto adalah nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. GDP merupakan salah satu metode untuk menghitung pendapatan nasional. Indonesia memiliki Gross Domestic Product (GDP) terbesar di kawasan Asia Tenggara dan cukup jauh meninggalkan negara-negara lainnya. Peringkat berikutnya adalah Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina (lihat tabel 1). Keberhasilan Indonesia sebagai negara dengan GDP tertinggi diantara anggota ASEAN sangat wajar mengingat luas wilayah, jumlah penduduk dan potensi ekonomi yang dimilikinya sangat besar. Namun, perolehan GDP bukan jaminan kesejahteraan masyarakat karena masih ada faktor-faktor lain yang perlu diperhitungkan.



3.    Arus masuk investasi asing langsung (FDI Inflow)
Investasi adalah stimulus pertumbuhan ekonomi suatu negara. Semakin besar jumlah investasi yang masuk akan membuka peluang pertumbuhan ekonomi semakin tinggi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Foreign direct investment inflow (FDI inflow) atau arus masuk investasi asing langsung di ASEAN cukup tinggi. Ini menunjukkan wilayah Asia Tenggara sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Hanya saja penyebaran nilai arus masuk investasi asing langsung tersebut tidak tersebar dengan baik diantara negara-negara di kawasan ini. Singapura mendominasi dengan mendapatkan 50% dari investasi asing, Indonesia 15%, Thailand 11%, Malaysia 10% (lihat grafik 2). 


4.    Pendapatan per kapita (GDP per capita)
Pendapatan per kapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Cara menghitungnya adalah dengan membagi pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan per kapita sering digunakan sebagai tolok ukur kemakmuran dan tingkat keberhasilan pembangunan sebuah negara. Semakin besar pendapatan per kapitanya, semakin makmur negara tersebut. Singapura dan Brunei Darussalam jauh berada di atas negara-negara lain. Pendapatan rata-rata penduduk Singapura adalah 55.182 USD/tahun sedangkan penduduk Brunei Darussalam mencapai 39.678 USD/tahun. Penduduk Indonesia hanya mendapatkan pendapatan tahunan sebesar 3.459 USD. Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Thailand (5.678 USD) dan Malaysia (10.420 USD) (lihat grafik 3). 
Perbedaan kesejahteraan yang sangat signifikan terjadi di kawasan ini. Ada negara-negara yang tergolong sangat kaya, sementara di sisi lain ada negara yang masih berkembang dan bahkan ada negara yang tergolong miskin. Seringkali ada yang beralasan Indonesia pendapatan per kapitanya masih rendah akrena jumlah penduduknya yang sangat banyak. Jumlah penduduk yang sedikit ataupun banyak bukan alasan untuk menjadi negara sejahtera atau masih berkembang. Apabila negara bisa mengelola semua sumber daya yang ada termasuk manusianya, kesejahteraan bukan tidak mungkin bisa didapatkan. Penduduk yang banyak dan produktif justru bisa menjadi modal berharga untuk meningkatkan pendapatan nasional suatu negara. 



B.   Penentu Daya Saing (Competitiveness Determinants)      
1. Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index)
Indeks persepsi korupsi (corruption perception index) disusun berdasarkan pendapat para ahli di seluruh dunia. Indeks ini mengukur tingkat persepsi korupsi di sektor publik di seluruh negara. Skala yang digunakan dari 0 (sangat korup) sampai 100 (sangat bersih). Hingga saat ini belum ada satupun negara yang bisa mencapai angka sempurna. Bahkan dua pertiga negara di seluruh dunia memiliki skor dibawah 50 (transparency international, 2015). 

Korupsi di sektor publik akan mengakibatkan kerugian yang besar misalnya kurang terjaminnya fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi rakyat. Selain itu, korupsi akan menghambat jalannya pembangunan dan meruntuhkan kepercayaan terhadap pemerintah. Pada akhirnya iklim usaha pun akan terpengaruh sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. 

Singapura menempati posisi tertinggi dengan skor 84 dan menempati rangking 7 dunia, disusul oleh Malaysia skor 52 dan rangking 50, Thailand dan Filipina skor 38 dengan rangking 85 serta Indonesia skor 34 dan rangking 107. Tabel di bawah ini menunjukkan bahwa Singapura tergolong sangat rendah tingkat korupsi di sektor publiknya, jauh di atas negara-negara lain.

Indonesia masih terpuruk di bawah. Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia diidentikkan dengan budaya korupsi yang sudah menjalar di sektor publik. Korupsi masih menjadi salah satu hambatan bagi terciptanya iklim usaha yang kondusif. 


2. Indeks Kebebasan Ekonomi (freedom of economy index)
Indeks kebebasan ekonomi mengambil pandangan yang luas dan komprehensif mengenai kebebasan ekonomi dengan mengukur kinerja negara dalam 10 aspek yang terpisah. Beberapa aspek kebebasan ekonomi yang dievaluasi misalnya tingkat keterbukaan ekonomi untuk investasi global atau perdagangan. Namun, sebagian besar fokus pada kebijakan dalam suatu negara, menilai kebebasan individu untuk menggunakan tenaga kerja atau keuangan mereka tanpa ada hambatan yang tidak semestinya dan campur tangan pemerintah (Heritage, 2015).
10 aspek yang diukur dari kebebasan ekonomi dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori besar:
1. Aturan hukum (hak milik, bebas dari korupsi);
2. Ukuran pemerintah (kebebasan fiskal, pengeluaran pemerintah);
3. Efisiensi regulasi (kebebasan bisnis, kebebasan tenaga kerja, kebebasan moneter); dan 
4. Keterbukaan pasar (kebebasan perdagangan, kebebasan investasi, kebebasan finansial).
Singapura kembali menunjukkan dirinya sebagai salah satu negara yang memberikan kemudahan dalam melakukan aktifitas ekonomi. Dengan skor tertinggi diantara negara ASEAN 89,4, Singapura menjadi rangking ke 2 dunia. Malaysia memperoleh skor 70,8 dengan rangking 31 sedangkan Indonesia masih tertinggal di belakang Thailand dan Filipina. Hal ini memperlihatkan bahwa kebebasan ekonomi di Indonesia masih kurang baik. Aturan hukum yang sering tumpang tindih, proses perizinan yang tidak lepas dari praktek korupsi, dan lain sebagainya sering menjadi kendala aktifitas ekonomi di negara kita.


3. Kemudahan dalam berbisnis (Ease of doing business)
Data dalam The Doing Business dari World Bank menggambarkan peran penting kebijakan pemerintah dalam aktifitas keseharian perusahaan kecil dan menengah. Tujuan dari laporan ini adalah untuk mendorong agar peraturan dibuat lebih efisien, dapat diakses oleh yang berkepentingan dan mudah diimplementasikan. Dengan demikian diharapakan para pengusaha akan bisa menjalankan usahanya dengan berkompetisi secara adil serta bisa mengembangkan diri dengan berinovasi (World Bank, 2015).
Indonesia hanya menempati rangking 114 di tingkat dunia dalam kemudahan berbisnis, tertinggal jauh dari negara-negara di sekitarnya.Singapura berada di peringkat 1, Malaysia 18,Thailand 26, Vietnam 78, Filipina 95 dan Brunei 101. Indonesia hanya lebih baik dari Kamboja, Laos dan Myanmar yang ekonominya masih belum berkembang.
Hal ini menggambarkan betapa tidak mudahnya untuk menjalankan bisnis di Indonesia. Ada banyak hambatan dan rintangan yang harus dihadapi oleh seorang investor untuk memulai usahanya. Sementara di negara-negara lain, investor yang masuk diberikan banyak kemudahan agar mau menjalankan bisnis di negara mereka. Birokrasi yang mudah, murah dan cepat adalah daya tarik bagi para pengusaha untuk membuka usaha di suatu negara. Sesuatu yang masih sulit untuk ditemukan di negeri ini.
Salah satu alasan mengapa Indonesia dianggap sebagai negara yang sulit untuk memulai bisnis bisa terlihat dalam tabel di bawah ini. Investor yang akan memulai bisnis di Indonesia memerlukan 10 prosedur dan 52,5 hari kerja. Coba bandingkan dengan Singapura yang hanya membutuhkan 3 tahapan dan 2,5 hari kerja saja. Begitu juga dengan pengusaha yang akan melakukan kegiatan ekspor dan impor. Untuk ekspor, mereka memerlukan 4 dokumen dengan proses selama 17 hari dan biaya mencapai 572 USD. Sementara untuk impor, diperlukan 4 dokumen selama 26 hari kerja dengan biaya 647 USD per kontainer. Apabila dibandingkan dengan Malaysia, kita kalah efisien. Untuk ekspor, Malaysia perlu 4 dokumen dengan 11 hari kerja dan biaya 525 USD. Begitu dengan impor, mereka hanya membutuhkan 8 hari kerja dengan biaya 560 USD per kontainer.
4. Indeks Daya Saing Global (Global competitiveness index)
Banyak faktor penentu pendorong produktivitas dan daya saing. Para ekonom telah memahami faktor di balik proses ini selama ratusan tahun. Perbedaan dalam menentukan faktor penentu ini telah diadopsi dalam Global Competitiveness Index dengan memasukkan rata-rata tertimbang dari berbagai komponen yang berbeda, masing-masing mengukur aspek yang berbeda dari daya saing (World Economic Forum, 2014).
Grafik indeks daya saing global di bawah ini menunjukkan Indonesia berada di posisi ke 4 diantara negara anggota ASEAN dan urutan ke 34 di dunia. Singapura berada jauh di depan, bahkan menjadi peringkat 2 di dunia. Malaysia berada diurutan berikutnya dengan rangking ke 20 sedangkan Thailand berada di urutan ke 31.

Mengapa Indonesia kalah bersaing? Kita bisa melihat dari kategori persyaratan dasar (basic requirement) yang menjadi salah satu aspek dari penilaian GCI, Indonesia skornya selalu tertinggal dibandingkan dengan kompetitor terdekatnya yaitu Thailand dan Malaysia. Infrastruktur, kesehatan dan pendidikan dasar kita di bawah mereka. Hanya di aspek institusi kita bisa lebih baik dari Thailand dan lingkungan makro ekonomi Indonesia lebih tinggi skornya dari Malaysia.
Begitu juga jika dilihat dari 2 kategori yang lain yaitu pendorong efisiensi (efficiency enhancer) dan faktor inovasi dan kecanggihan. Kita perlu mengakui masih banyak yang perlu diperbaiki. Pasar barang dan  tenaga kerja  belum efisien, penggunaan teknologi masih setengah hati, pendidikan tinggi dan pelatihan sumber daya manusia masih perlu pembenahan adalah contoh beberapa hal yang masih harus ditingkatkan lagi.  

















BAB III
PENUTUP

Ø  Kesimpulan dan Saran
Kinerja daya saing Indonesia memiliki keunggulan dari besarnya pendapatan nasional yang tercermin dari pendapatan domestik bruto. Hal ini ditunjang oleh luasnya wilayah dan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia. Namun demikian, dari indikator yang lainnya kita masih tertinggal. Total perdagangan, arus investasi asing dan pendapatan per kapita Indonesia tidak sebanding dengan potensi yang dimiliki. Kita belum bisa mengoptimalkan segala potensi yang ada untuk menjadikan rakyat sejahtera.
Ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan anggota ASEAN lainnya karena faktor penentu daya saingnya memiliki skor rendah. Korupsi di negeri ini tergolong akut sehingga skor indeks persepsi korupsinya masih tergolong kecil. Kebebasan ekonomi juga masih terkendala aturan hukum dan kebijakan pemerintah sedangkan kemudahan melakukan bisnis mendapat rintangan birokrasi yang tidak efisien. Pada akhirnya indeks daya saing global kita masih berada di bawah negara-negara tetangga.
Pemerintah dengan dukungan semua pemangku kepentingan harus segera membenahi diri dengan melakukan pemberantasan korupsi di semua sektor. Reformasi birokrasi dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan publik juga harus dilakukan di instansi pemerintah. Penerapan teknologi informasi untuk memudahkan dan mempercepat pelayanan di sektor publik. Tanpa ada langkah yang terencana, Indonesia akan terus tertinggal dan kalah dalam persaingan.




Ø  Daftar Pustaka
Bakhri, B. S. (2015). Kesiapan Indonesia Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 Dari Perspektif Daya Saing Nasional. Jurnal Economica, I(1), 21–28.
Bangun, W. (2014). Human Development Index : Enhancing Indonesian Competitiveness in ASEAN Economic Community ( AEC ). International Journal of the Computer, the Internet and Management, 22(1), 42–47.
Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nations. Harvard Business Review, 68, 73– 93. 
14
Selected basic ASEAN indicators. (2014). Statistics, (December). Retrieved from http://www.asean.org/images/2015/January/selected_key_indicators/table1_as of December 2014_R.pdf
Transparancy International (2014). Corruption Perceptions Index 2014. Available at https://www.transparency.org/cpi2014/results
The Heritage Foundation (2015). 2015 Index of Economic Freedom. Available at www.heritage.org/index/
Vukovic, D., Jovanovic, A., & Djukic, M. (2012). Defining competitiveness through the theories of new economic geography and regional economy. Journal of the Geographical Institute Jovan Cvijic, SASA, 62(3), 49–64. 
Wahyuni, S., & Ng, K. K. (2012). Historical outlook of Indonesian competitiveness: past and current performance. Competitiveness Review: An International Business Journal Incorporating Journal of Global Competitiveness, 22, 207–234. 
World Bank (2015). Doing Business 2015. Available at ww.doingbusiness.org/rankings
World Economic Forum (2014). The global competitiveness report 2014-2015. Available at http://www.weforum.org/pdf/Global_Competitiveness_Reports/Reports/factsheet_gcr03.pdf





No comments:

Post a Comment